Rabu, 03 Juni 2015

Kebenaran Menjadi Rumit Tatkala Ketidakbenaran Menjadi Kebenaran




( BERBICARA KOTOR )

Mendengar anak balita yang sudah pandai mengoceh adalah hal yang lucu dan menggemaskan. Namun bagaimana jika ocehan yang diucapkan adalah kata-kata kotor?. Seorang anak biasanya mengucapkan kata-kata yang mereka dapatkan dari lingkungan mereka bukan tidak mungkin kata-kata yang biasa didengar oleh anak akan membentuk pribadi anak sesuai dengan kata-kata yang mereka dengar. Seorang anak yang memperoleh bahasa pertama berupa kata-kata kotor, maka anak tersebut akan menirunya dan mengucapkannya hingga ia dewasa. Selanjutnya, perilakunya akan terpengaruh pula. Lingkungan juga mempunyai peranan penting terhadap perkembangan bahasa pertama anak. seorang anak yang tumbuh di lingkungan dengan kondisi sosial buruk, akan memperoleh kata-kata yang buruk untuk didengar. Kata-kata tersebut kemudian diulang-ulangnya, meskipun dia tidak tahu apa artinya. Bahkan terkadang, ketika menangis pula kata tersebut mereka ucapkan tanpa sadar. .Perkataan jorok adalah perkataan yang tidak pantas bagi norma yang berlaku. Selain karena faktor lingkungan dan model keluarga, juga dapat disebabkan karena keinginan anak untuk mendapatkan perhatian dari lingkungannya. adapun jenis-jenis kata kotor itu yaitu sebagai berikut:
a.       Profanity (mempermainkan kata-kata suci seperti Tuhan)
b.      Cursing (menyumpahi orang seperti brengsek, sialan dan kurang ajar)
c.       Obscenity (menggunakan kata yang menggunakan konotasi seksual atau mencemooh seperti bodoh dan sinting)
 Sampai saat ini masih banyak orang ataupun anak kecil yang sering sekali mengatakan bebicara kotor seperti jamput, jangkrek, jancik, jazem, mbokne/makmu ancok, jambu, jasit, asu, anjing,dan kawan-kawan nya yang pastinya tak asing lagi di telingah kita, tidak lain kata-kata tersebut adalah merupakan variasi dari satu kata berupa “jancok” . Kata ini sangat sering kita dengar,Biasanya kata-kata tersebut di ucapkan seseoarang ketika :
a.        MARAH
 Ini sudah jelas karena  normalnya “jancok” adalah sebuah kata umpatan untuk memaki orang yang membuat kita emosi menumbukan kemarahan.
b.      BERTEMU TEMAN LAMA
 Misalnya khotob habis  pulang dari rumahnya secara tak sadar kita bilang endi jajane cok,(mana makanannya cok), dsb
Pengetahuan, perilaku, dan kosa-kata baru yang didapatnya sering membuat kita tercengang. Misalnya, tiba-tiba saja si kecil merengek minta dibelikan gitar sambil mendemonstrasikan kemampuannya bermain alat musik tersebut dengan gitar pinjaman. Atau, ketika sang ibunda sedang berkomat-kamit menghitung belanjaan, seketika si kecil menyeletuk menyebutkan total belanjaannya. Mungkin juga di suatu pagi yang tak anda sangka dia menyapa anda dengan penuh gaya mengucap “good morning!”.
            Sayangnya, tak semua yang didapatnya ialah hal-hal yang baik. Ketakjuban yang dialami seketika bisa berubah menjadi shock ketika si kecil dengan entengnya mengeluarkan kata-kata ‘kasar’ dan ‘sumpah serapah’ membawa-bawa nama hewan peliharaan, satwa kebun binatang, kotoran, bahkan hingga ke bagian-bagian sensitif dari aurat manusia, juga istilah hubungan badan dengan berbagai variasi kosa-kata dan bahasa. Meski, sebagian dari kata-kata yang terlontar tersebut mungkin belum mereka pahami artinya.
            Jika merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kasar, bermakna antara lain tidak halus, bertingkah laku tidak lemah lembut, dan tidak baik buatannya. Sesuatu yang tidak baik, sebagaimana diketahui, sering menimbulkan sejumlah persoalan mengarah ke hal yang negatif.
            Pengaruh yang diakibatkan dari kata-kata kasar (negatif) sesungguhnya amat besar bagi perkembangan jiwa seseorang, baik untuk yang mengucapkannya ataupun orang lain yang menjadi obyek ucapan tersebut. Ketika kata-kata negatif dilontarkan oleh seseorang, maka orang lain dapat berkesimpulan seperti apa watak orang tersebut. Manakala kata-kata negatif itu ditujukan kepada diri sendiri, maka ia dapat menjadi sosok yang kerdil, tidak ‘pede’, emosional, tidak bersemangat, tertutup, tidak punya keyakinan untuk melakukan sesuatu, dan pada akhirnya menyulitkannya untuk berkembang.
Fenomena mengucapkan kata-kata ‘kotor’ ini sekarang tak sulit untuk dijumpai. Biasanya mereka mengucapkan kata-kata ini ketika jauh dari pengawasan orangtua dan gurunya, sedang bergerombol bersama rekan sebaya, kemudian saling ‘menyapa’ rekannya dengan bertukar kalimat ‘wasiat’ tersebut. Momen ini dapat diamati ketika jam-jam pulang sekolah.
            Kata-kata kasar ini dapat menjelma menjadi momok yang menakutkan dan mengkhawatirkan bagi perkembangan jiwa anak-anak, maka sudah seharusnyalah kita, sebagai bagian dari lingkungan, mewaspadai dan mengantisipasi masalah ini. Karena memang, fenomena ini sekarang tak sulit lagi untuk ditemui di wilayah kemayoran, daerah tempat tinggal kita bersama.
            Dalam pengawasan orangtua dan guru, bisa jadi mereka mengeluarkan kalimat ‘baik-baik’. Namun ini tidak menjamin kata-kata ‘kotor’ itu belum terserap oleh mereka. Orangtua biasanya baru tersadar ketika secara tak sengaja si kecil kelepasan ngomong tatkala sedang jengkel atau marah. Bila ternyata kata-kata ‘kotor’ tersebut diucapkan secara sadar didepan orangtua, masalah yang dihadapi lebih serius. Karena ini berarti ia merasa tak ada yang salah dengan mengucapkan kata tersebut, dan menganggap lingkungan keluarga menyetujuinya, atau ia sudah tidak mempedulikan nilai yang dianggap baik di keluarga.
Menurut teori Erikson, anak-anak usia sekolah, tepatnya usia 6 sampai 12 tahun melihat apa yang dituntut oleh lingkungan, terutama dalam konteks sekolah dan sosial pertemanan. Mereka perlu mengatasi tuntutan tersebut dengan belajar lewat interaksi yang dialaminya di lingkungan, termasuk keluarga, sekolah, serta pertemanan.
Melalui lingkungan tersebut mereka menangkap hal-hal apa yang ‘baik’, yang membuatnya merasa mampu/kompeten dan diterima lingkungan. Perasaan ‘mampu’ tersebut akan meningkatkan perilaku mereka.
Anak-anak yang mendapat dukungan dan bimbingan terarah dari orang tua dan guru akan mengalami masa ini lebih positif. Dukungan tersebut akan mengembangkan rasa percaya terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk bisa mencapai keberhasilan.
Sementara bila kurang mendapat dukungan dan bimbingan, mereka akan merasa ragu dengan kemampuan yang dimiliki. Bagi anak-anak yang mengalami hambatan dalam melalui tahapan ini, mereka merasa tidak mampu menangkap tuntutan dan akan muncul rasa inferior, perasaan tidak mampu dan tidak percaya diri. Dengan tumbuhnya rasa inferior, ia akan mencari lingkungan lain yang memungkinkan dirinya merasa ‘mampu’. Bisa jadi lingkungan tersebut adalah lingkungan yang menganut nilai berbeda dari apa yang diajarkan oleh lingkungan keluarga dan sekolahnya, dan mungkin membawa nilai-nilai negatif.
Dalam kaitannya dengan fenomena bicara ‘kotor’ pada anak-anak. Perilaku ini menjadi berkembang ketika lingkungan pergaulan memberikan dukungan, dan dengan melakukan perilaku berbicara ‘kotor’ tersebut mereka merasa berarti, mendapat pengakuan dari teman-temannya. Perilaku tersebut juga mungkin terjadi pada anak-anak yang mengalami kesulitan merasa kompeten di sekolah atau kurang mendapat pengakuan dalam keluarganya terutama orang tua, akibat kurangnya bimbingan dan pengarahan.
Jadi, Lingkungan juga mempunyai peranan penting terhadap perkembangan bahasa pertama anak. Tidak jauh berbeda dengan contoh di atas, seorang anak yang tumbuh di lingkungan dengan kondisi sosial buruk, akan memperoleh kata-kata yang buruk untuk didengar. Kata-kata tersebut kemudian diulang-ulangnya, meskipun dia tidak tahu apa artinya. Bahkan terkadang, ketika menangis pula kata tersebut mereka ucapkan tanpa sadar. Contoh lainnya, seorang anak yang tumbuh di lingkungan dengan banyak larangan, maka kata-kata yang didengarnya hanyalah kata-kata negatif yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan si anak. Anak tersebut akan tumbuh menjadi anak yang pesimis, penuh rasa takut, tidak mampu menghadapi masalah, dan lainnya.

Larangan Berbicara Kotor Menurut potongan Ayat berikut:
بسم الله الرحمن الرحيم
Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
لَيْسَ اْلمـُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَ لَا اللَّعَّانِ وَ لَا اْلفَاحِشِ وَ لَا اْلبَذِيِّ
“Bukanlah seorang mukmin orang yang suka mencaci, orang yang gemar melaknat, orang yang suka berbuat/ berkata-kata keji dan orang yang berkata-kata kotor/ jorok”. [HR at-Turmudziy: 1977, al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 312, Ahmad: I/ 404-405 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, sebagaimana di dalam Shahih Sunan at-Turmudziy: 1610, Shahih al-Adab al-Mufrad: 237, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5381 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 320].
Faidah hadits,
1). Orang yang beriman itu tidak memiliki sifat-sifat tercela semisal; suka mencaci orang lain, gemar melaknat atau mengutuk, suka berbuat atau berbicara yang keji dan sering mengumbar kaka-kata yang jorok.
2). Jika ada seseorang yang mengaku beriman namun masih melakukan salah satu atau lebih dari perilaku buruk tersebut maka dia adalah seseorang yang tidak baik keimanannya atau orang yang tidak sempurna keimanannya.
3). Diharamkannya memiliki sifat-sifat tersebut karena akan mendatangkan kerugian dan kenistaan bagi orang yang melakukannya di dunia dan akhirat.
4). Hendaknya setiap muslim menjauhi kebiasaan berkata-kata keji dan kotor/ jorok meskipun hanya sekedar untuk bercanda terutama kepada lawan jenisnya. Hal ini banyak kita jumpai senda gurau di fesbuk, twitter dan sejenisnya.
5). Sifat orang mukmin adalah berbicara yang baik atau jika tidak maka ia akan diam.
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam”. [HR al-Bukhoriy: 6018, 6019, 6136, 6138, 6476, Muslim: 47, Ibnu Majah: 3971 dan Ahmad: II/ 267, 433, 463, VI/ 31, VI/ 384, 385 dari Abu Syuraih. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 32, Shahih Sunan Ibni Majah: 3207 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6501].
6). Kebanyakan dosa manusia adalah pada lisannya.
Dari Syaqiq berkata, Pernah Abdullah (bin Mas’ud) ra bertalbiyah di atas bukit shofa. Kemudian berkata, “Wahai lisan, berkatalah yang baik niscaya engkau akan memperoleh kebaikan atau diamlah niscaya engkau akan selamat sebelum engkau menyesal”. Mereka bertanya, “Wahai Abu Abdurrahman (maksudnya; Ibnu Mas’ud), Apakah ini suatu ucapan yang engkau ucapkan sendiri atau yang engkau pernah dengar?”. Beliau ra menjawab, “Tidak, bahkan aku telah mendengar Rosulullah saw bersabda,
أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فىِ لِسَانِهِ
“Kebanyakan dosa anak-anak adam itu ada pada lisannya”. [HR ath-Thabraniy, Abu asy-Syaikh dan Ibnu Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1201, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 534 dan al-Adab: 396].
7). Semoga kita sebagai umat Islam yang baik, dengan dalil-dalil shahih di atas berusaha menjaga lisan kita dari ucapan-ucapan yang membuat Allah Subhanahu wa ta’ala murka dan mengamalkan dan mempergunakan lisan kita kepada yang membuat-Nya ridla.





REFERENSI

Daruttaqwa Muslim. 2011. Pantaskah Aku Bekata Kotor, (online), (https://muslimdaruttaqwa.wordpress.com/2011/10/28/16/, diakses tanggal 30 Mei 2015)
Hura Lala. 2013. Pengaruh Anak Berbicara Kotor, (online),  (http://lalahura.blogspot.com/2013/02/pengaruh-anak-berbicara-kotor.html, diakses tanggal 30 Mei 2015)
https://www.facebook.com/permalink.php?id=144520272362957&story_fbid=158349954313322
Saidah. 2013. Perilaku Anak Yang Sering Berkata Kotor, (online), (http://semuacerdas.blogspot.com/2013/12/perilaku-anak-yang-sering-berkata-kasar.html, diakses pada 30 Mei 2015)
Wulandari Desy. 2013. Anak Suka Berbicara Kasar, (onlin), (http://ndesssss.blogspot.com/2013/12/makalah-anik-lestari.html, diakses pada 30 Mei 2015)